:: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ...." (Al-Baqarah(2) : 286) :: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah(2) : 177) :: "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah(2) : 268 :: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa(17) : 36) :: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah(99) : 7,8)
::

Muara Keterlanjuran



Sumber : Buletin Jum’at (Ath – Thoharoh), Edisi 53 (11 Juni 2010 / Th. 1)

Setiap kita berangkat pernah memiliki keterlanjuran dalam hidup. Terlanjur dalam memutuskan dan melangkah. Tetapi keterlanjuran itu berbeda-beda muaranya. Beda masalah dan sumber utamanya.

        Ada kalanya keterlanjuran memiliki dampak yang negatif dan berbahaya. Dan ada kalanya keterlanjuran itu tetap mencuatkan masalah tetapi tidak sebesar yang pertama. Yang ini menunjukan bahwa sumber masalahnya tidak seberat yang pertama.

        Untuk itulah sangat perlu kita cermati sebab-sebab munculnya keterlanjuran dalam hidup, agar kita dapat melihat pada ruang manakah keterlanjuran hidup kita berada. Berikut ini beberapa muara keterlanjuran.

Pertama, Terlanjur karena hawa nafsu....

        Jika hawa nafsu sudah menyetir, tunggulah saatnya kehancuran. Setiap kita mempunyai kecenderungan sendiri dalam masalah hawa nafsu. Setiap kita mengetahui kelemahan dirinya. Walau banyak yang akhirnya tidak mau mengakui kelemahan dirinya. Atau berpura-pura tidak tahu titik kelemahannya.

        Betapa banyak yang memperjuangkan keinginan yang didiktekan hawa nafsu. Kemudian ia menjadi terbiasa dalam dosa itu. yang tadinya canggung menjadi tanggung. Yang tadinya tidak bisa menjadi biasa. Akhirnya kata berikutnya adalah terlanjur.

        Kata terlanjur sering menjadi pelarian terakhir. Pelarian terakhir dari ketidaksanggupan kita keluar membebaskan diri dari dosa-dosa. Pelarian akhir dari ketidak berhasilan kita menambal kehidupan yang koyak karena dosa dengan lembaran istighfar. Pelarian akhir untuk menghindar dari tanggung jawab. Padahal kesemuanya pasti ada akibat yang harus kita tanggung baik di dunia ini, lebih-lebih lagi di hadapan pengadilan Allah kelak.

        Di sekitar kita atau mungkin pada diri kita, dapat terlihat jelas hari ini bagaimana kata terlanjur, tanggung, sekalian saja, dan seterusnya merupakan dalih untuk tetap berada dalam kemaksiatan. Hawa nafsu itu sendirilah yang sebenarnya membisikan agar keluar sebuah alasan yang diada-adakan ini, yaitu alasan terlanjur.

        Padahal dalam Islam tidak ada kata terlanjur. Tidak ada kata tanggung kalau dosa adalah masalahnya. Berlama-lama dalam dosa artinya akan semakin membuat daftar kesengsaraan kita semakin panjang dan berat. Rasulullah SAW. bersabda, “Hidarilah olehmu dosa-dosa, betapa pun remehnya. Karena segala sesuatu ada yang mencari. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencari dosa-dosa itu akan ditulis apa-apa yang mereka lakukan berikut bekas-bekasnya.”

Kedua, Terlanjur Karena Serakah Terhadap Harta....

        Harta menjadi gula yang selalu didatangi semut mana pun. Pusaran manusia hari ini tidak jauh dari harta. Segala aktifitas dan rencana tidak jauh dari keinginan mendapatkan pundi-pundi harta. Apalagi pada suasana hari ini, ketika peluang kerja semakin sempit, makin tidak sesuai dengan kebutuhan. Pengangguran sudah menumpuk. Meningkat dari hari ke hari.

        Orang semakin memperebutkan harta dunia yang panas ini, karena tuntutan perut sering tidak sabar menanti barang sesaat saja. Dan bayangkan tentang kenikmatan duduk menjadi orang kaya selalu ada di benak. Jika kendali iman melemah, maka menghalalkan segala cara adalah jawabannya. Kriminalitas dengan dalih tidak ada pekerjaan, sering kita dengar. Akhirnya ketika diminta untuk taubat kembali, yang ada adalah kata terlanjur. Terlanjur ingin kaya, terlanjur malu.

        Keinginan mendapatkan harta tidak terbatas hanya pada orang yang kekurangan saja. Mereka yang sudah sangat berkecukupan sekalipun, terkadang malah lebih tamak, Tidak pernah merasa puas. Tidak pernah berhenti barang sebentar untuk sekedar mengucap alhamdulillah. Harta orang susah pun menjadi santapannya. Setelah itu masih saja berani memunculkan wajahnya di hadapan masyarakat berwujud pahlawan dan tokoh besar.

        Seharusnya tidak ada kata terlanjur. Seharusnya cepat dikembalikan hak orang lain itu dan taubat. Karena sebenarnya harta yang diraih dengan jalan haram hanya akan menambah hidup ini menjadi panas. Rumah menjadi tidak tenteram, dan bayangan kenikmatan hidup sirna . dan sebelum kehancuran terlanjur menghampiri.

        “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Jangan begitu, kelak kamu kan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (At-Takaatsur: 1 – 3).

Ketiga, Terlanjur Karena Urusan yang Remeh....

        Urusan remeh sering menjadi biang bencana. Masalah kecil bisa menjadi pemicu masalah besar. “Karena bukanlah api besar itu berasal dari percikan api kecil,” kata seorang penyair.

        Maka dari itulah, seorang muslim selayaknya selalu memiliki kontrol kuat ketika berpikir dan melangkah. Urusan remeh tidak boleh disepelekan. Urusan kecil bukan tidak perlu diperhatikan. Apalagi meremehkan sesuatu yang sebenarnya besar. Menganggap kecil sesuatu yang sebenarnya tidak kecil.

        Awalnya mungkin hanya berniat bercanda untuk membut saudara senang. Ternyata malah berbuntut musibah besar. Seperti kisah nyata di masa lalu ini. Entah apa yang ada di pikiran seseorang yang ketika berada di salah satu pasar di kota Kufah, Irak, melihat pejalan kaki berperawakan tinggi besar dengan pakaian gamis dan sorban di kepalanya. Orang itu lantas bersembunyi dan iseng melemparkan sesuatu ke arah pejalan kaki itu.

        Rupanya perbuatan itu diperhatikan oleh orang lain. Segera orang itu mendatangi pelempar yang iseng dan berkata, “Tahukah kamu, siapa yang kamu lempar itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, dia hanya pejalan kaki yang sedang lewat seperti halnya pejalan kaki yang lain.”

        Orang itu segera memberitahu identitas pejalan kaki itu yang ternyata bukan orang biasa. “Ketahuilah ia adalah Malik Asytar An-Nakho’i, orang dekatnya amirul mukmini dan panglima perangnya. Dia adalah Malik yang apabila singa melihatnya menjadi gemetar ketakutan dan apabila musuhnya mendengar namanya disebut orang, maka berdiri bulu kuduknya.”

        Beruntunglah orang yang menganggap remeh masalah iseng itu tidak sedang berhadapan dengan panglima garang. Sementara perbuatan isengnya terlanjur terjadi. Kalau dia berjumpa dengan orang pemarah atau orang yang sedang banyak masalah sehingga akal sehatnya hilang, maka tentu ia menemui batunya. Karena sering terjadi, keterlanjuran dari iseng mangakibatkan bencana besar yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Keempat, Keterlanjuran Karena Tidak Ada Pilihan Lain....

        Terpaksa kita pilih pekerjaan ini, karena tidak ada pilihan lain. Kita pilih rumah di tempat ini, karena tidak ada pilihan lain. Kita pilih keputusan ini karena kondisi menekan harus seperti itu. Daripada tidak sama sekali, lebih baik memilih meski terpaksa.

        Itulah keterpaksaan dan tidak adanya pilihan lain, membuat kita terkadang berkata terlanjur. Terlanjur memilihnya sehingga lebih baik diteruskan. Ya, karena tidak ada pilihan kedua. Kalau ada pilihan yang lebih baik, siapa pun ingin memilih yang lebih baik dan pas buatnya.

        Tentunya kata terpaksa ini bukan melegakan setiap tindakan maksiat yang berdasarkan keterpaksaan. Mereka yang melacurkan dirinya, sering berdalih kesulitan ekonomi. Mereka yang mencuri dan merampok juga sering beralasan yang sama. Demi sesuap nasi dan kehidupan anak isteri.

        Karena yang haram tetaplah haram, apapun alasannya. Keterpaksaan bukan di sini tempatnya dan bukan ini ukurannya. Banyak dari mereka yang hanya bisa berkata terlanjur, tanpa berusaha untuk memperbaiki diri.

        Pilihan-pilihan hidup kita, kita lah penentunya. Di sini pertimbangan matang setelah berpikir dan bertanya merupakan sebuah upaya agar tidak ada penyesalan di belakang hari.

        Kita bisa kurang pertimbangan atau salah pilih dalam memilih sekolah, jurusan kuliah, tempat tinggal, teman, jodoh, atau pilihan-pilihan hidup kita yang lain. Untuk itulah salah pertimbangan dan perhitungan bisa menyebabkan kita berkata terlanjur. Maka sebelum terlanjur, pikirkan masak-masak, dan timbanglah dalam-dalam.

        Keterlanjuran mempunyai muara yang berbeda. Ini agar kita tahu di mana letak kekeruhan air kehidupan kita. Selanjutnya, dengan mudah kita dapatkan solusinya.

        Agar tetap hidup, kita memang harus bertahan. Tetapi untuk bertahan itu sendiri perlu perjuangan. Bahkan petarungan. Bertarung dengan ganasnya kehidupan, dengan persaingan, juga dengan kesulitan-kesulitan yang tak bersahabat. Dan, tentu sja, bertarung melawan paradigma keterlanjuran yang keliru dan sering menyesatkan.

        Maka, marilah berkaca sejenak. Pada jalan hidup yang mana kita manapak hari ini. Setiap kita punya hari-hari kemarin. Hitam atau putihnya. Jelek atau baiknya. Yang sangat penting ialah, bagaimana hari-hari ini bukan “keterlanjuran” di jalan keburukan yang kita sengaja, sebesar apapun keburukan itu.

        Wallahu ‘alam bishowwaab.

Renungan Qur’an-Hadits :

“Berkata Rasul-Rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” mereka berkata: “Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami, bukti yang nyata”.”
(Ibrahim:10)

....

Allah SWT. berfirman dalam Hadits Qudsi :

“Akulah Maha Pemurah dan Maha Agung untuk memberikan ma’af dengan jalan menutupi (keaiban) Muslim dalam dunia, kemudian menelanjangi rahasianya sesudah menutupinya. Dan Aku senantiasa mengampuninya hamba-Ku semala hamba-Ku meminta ampunan kepada-Ku.”
(At-Turmudzi)

....

Kembali ke atas....

Indonesia Beriman