:: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ...." (Al-Baqarah(2) : 286) :: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah(2) : 177) :: "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah(2) : 268 :: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa(17) : 36) :: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah(99) : 7,8)
::

Tawakal, Berpengehtahuan, dan bersyukur sebagai Jatidiri Spiritualis




Oleh : Oleh: Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA

Siapkan qalbu Anda :

  1. Cara berfikir manusia sekarang hampir tidak memasukan Allah SWT. dalam aktivitasnya.
  2. Ilmu objektif bermanfaat luar biasa besar bagi kehidupan.
  3. Rasulullah SAW. mengajarkan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. supaya nikmat tetap bertahan dan semakin bertambah.

Kalau hari ini kita diberi usia oleh Allah SWT., apalagi hari ini bisa bertemu dengan bulan Ramadhan, maka disitu ada dua kemungkinan:

        Pertama, karena pada Ramadhan tahun lalu masih ada hal-hal yang belum sempurna, sehingga Allah SWT. menginginkan kita pada hari ini untuk menyempurnakannya. Seberapapun usia yang diberikan Allah SWT., pasti mengandung kemungkinan tersebut. Mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa kitta kepada orang lain. Oleh karena itu, hari iniketika kita masih diberi usia dan bertemu dengan bulan Ramadhan, itu maknanya bahwa kemungkinan yang pertama kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

        Kedua, karena banyak orang yang masih membutuhkan kita. Ibu masih membutuhkan bapak, anak-anak masih membutuhkan kita, lingkungan masih membutuhkan kita, bangsa ini juga demikian. Oleh karena itu, masih ada banyak yang bermanfaat dalam diri kita, sehingga kita diberi kesempatan untuk semakin bermanfat dalam kehidupan kita.

        Dua kemungkinan itu harus kita manfaatkan betul-betul hari ini selama kita menjalani hari-hari ini terlebih bulan Ramadhan. Kita belum tentu akan bertemu dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Oleh karena itu, anggaplah Ramadhan ini sebagai yang terakhir. Lalu, bagaimana sikap kita kalau Ramadhan ini sebagai yang terakhir karena saya tidak bisa menentukan apakah Ramadhan yang akan datang masih bisa bertemu lagi atau tidak.

        Jika besok kita dipanggil oleh Allah SWT., tentunya kita melakukan hal yang sebaik-baiknya pada hari ini, pasti akan begitu jawabannya. Harapan kita di bulan Ramadhan ini seperti itu.

        ....

Pengehtahuan Objektif....

        Di dunia ini ada hal-hal yang sangat mudah kita pahami, sehingga untuk memahaminya kadang-kadang kita tak perlu berpikir panjang. Misalna begini, kalau besi dipanaskan pasti memuai, es kalau dibiarkan di luar udara bebas pasti menguap. Ilmu yang begini bernama ilmu objektif. Alat ukurnya di luar diri kita. Kalau kita tidak percaya besi itu memuai bila dipanaskan, kita tinggal coba besi itu dipanaskan. Itu tidak ada hubungannya dengan kesukuan atau tidak ada hubungannya dengan kebangsaan, tidak ada hubungannya dengan macam-macam hal.

        Apakah besi dipanaskan oleh orang Islam memuai kalau oleh orang komunis tidak memuai? Tidak bukan? Banyak hal seperti ini (ilmu objektif) dalam kehidupan kita dan itu manfaatnya luar biasa besar bagi kehidupan. Ketika besi itu dipanaskan tetapi tidak memuai? Pasti kita lalu bertanya, “Seberapa tinggi suhu panas yang kita gunakan?” misalnya, dijejer (pen: disusun) ada sepuluh besi dipanaskan, yang saut memuai yang satunya lagi tidak memuai. Lalu apa kira-kira pertanyaannya, “Pastikan memanaskannya memakai apa?” “Oh iya, wajar saja orang lain memanaskannya memakai arang kelapa bukan sama arang sekam”.

        Dari situ mungkin ketahuan ada derajat-derajat panas yang berbeda-beda. Ketika semua sudah diukur panasnya sama, tetapi tetap ada yang tidak memuai, lalu apa pertanyaan kita. Mungkinkah besinya berbeda-beda? Dari pertanyaan ini, nantinya akan diketemukan berbagai jenis besi. Ada jenis besi yang memuai pada suhu sekian baru meleleh, tetapi jenis lainnya belum.

        Ini yang disebut ilmu alam. Ada aturan-aturan yang jelas yang di situ tidak memasukan kesukuan dan kebangsaan kita apapun. Gampangnya orang Rusia begitu, orang Amerika begitu, orang Indonesia begitu; sama-sama memakai metode ilmiah dengah langkah-langkah sistemik tertentu.

Intuisi dan Kehendak-Nya....

        Tapi ada ilmu-ilmu yang tidak bisa dihitung. Mari saya berikan contoh, apakah sebuah lukisan itu bagus atau tidak. Itu sulit diukur, karena menyangkut dimensi pribadi masing-masing orang yang melihatnya. Saya dulu menonton pameran lukisan di salah satu perguruan tinggi. Sengaja saya mengajak istri, saya tunjukan pada istri sebuah lukisan. “Bagus ngak?”, kata saya. Istri saya bilang, “Bagus bagaimana lukisan acak-acakan seperti ini”. Saya memberitahu bahwa lukisan itu sudah terjual 3,5 miliyar. Istri saya kaget, “ Orang gila mana yang mau membelinya?”

        Ini soal penilaian. Dasar penilaiannya yaitu perasaan. Nah, kalau sudah menyangkut rasa biasanya kita berbeda pendapat dengan orang lain. Banyak faktor individu yang membuat penilaian masing-masing orang menjadi subjektif. Berbeda dengan ilmu alam yang tadi.

        Hal lain yang tidak bisa diprediksi adalah ilmu agama. Disitu bukan kehendak diri kita sendiri ikut campur dalam ilmu ini, tetapi karena kehendak Allah SWT. Apa kehendak Allah SWT. disini? Ilmu-ilmu itu adalah gunanya untuk mengembangkan hidup.

        Saya dulu datang ke Bandung pada tahun 1969. Berangkat dari Jombang itu pukul setengah empat pagi dan sampai di sini pukul tiga malam. 23 jam lamanya perjalanan, karena memang memakai kereta api uap yang berbahan bakar kayu. Setalah diganti bahan bakarnya menjadi batubara, perjalanan Bandung-Jombang menjadi 20 jam. Nah, sekarang ini menjadi 9 jam perjalanan. Ke depan apakah akan bisa menjadi 3 jam perjalan? Kenapa tidak!

        Tetapi, apakah kita bisa sampai ke rumah saat pulang kerja? Atau sampaikah kita pada bulan Ramadhan tahun depan? Itu yang tidak bisa dihitung. Ada kemungkinan sampai, ada kemungkinan tidak, fifty-fifty. Nah, inilah uang tidak bisa dipastikan itu. kalau ilmu Tuhan itu tetap bertahan fifty-fifty atau bisa dinaikan? Bagaimanakah caranya supaya kita bisa sampai di bulan Ramadhan yang akan datang? Kesehatan kita jaga. Misalnya, kurangi merokok kalau memang tidak bisa sama sekali menghilangkan kebiasaan merokok tersebut. Atau, kalu mau pergi ke luar kota hari ini, “Apakah kita pasti selamat atau tidak?” Bisa selamat, bisa juga tidak. “Berapa persen selamatnya?” fifty-fifty. Supaya kadar selamatnya naik, “Harus bagaimana caranya?” Pilih mobil yang layak jalan, jangan ngebut di jalan, mematuhi rambu-rambu laluilintas dan sebagainya. Seorang Muslim harus menguasai pengetahuan alam seperti itu, kalau kehidupannya ingin maju. Kalau kita sudah naik mobil yang layak jalan, maka sudah naik yang 50 persen itu –katakanlah-menjadi 60%. Supaya lebih naik lagi menjadi 70%, “Bagaimana?” Carilah supir yang tidak ugal-ugalan dan beristirahat dahulu apabila mengantuk.

        Kalau semuanya sudah terpenuhi secara ilmiah, “Apakah pasti sampai di tujuan?” Inya Allah juga. Insya Allah-nya sekarang berapa persen?” 90 persen. “Lantas yang 10 persen itu dimana?” Nah, yang 10% itu pun pada dasarnya di tangan Allah SWT.jawabannya Insya Allah itu bearti kekuatan di tangan Allah SWT. atau kalau Allah SWT. berkenan kepada kita. Supaya Allah SWT. berkenan, “Bagaimana itu?” Buatlah Allah SWT. berkenan, buatlah Allah SWT. tidak menggunakan hak preogratif-Nya untuk mengacak-acak yang 90% itu. secara ilmiah yang 90% itu pasti berhasil ketika yang 10% di tangan Allah SWT. tidak dipakai untuk mengacak-acak yang 90%, kecuali jika Allah SWT. murka kepada kita.

Kalau semuanya sudah terpenuhi secara ilmiah, “Apakah pasti sampai di tujuan?” Inya Allah juga. Insya Allah-nya sekarang berapa persen?” 90 persen. “Lantas yang 10 persen itu dimana?” Nah, yang 10% itu pun pada dasarnya di tangan Allah SWT.

        Allah SWT. akan campur tangan dalam suatu urusan jika ada sesuatu yang dipandang penting. Oleh karena itu, ketika hari ini kita mendapatkan pekerjaan yang seperti ini, tetap harus bersyukur. Rasulullah SAW. mengatakan jangan sering melihat ke atas tetapi seringlah melihat ke bawah, itu akan membuat kita selalu bisa bersyukur.

        Amanah berupa perkerjaan ini bisa saja oleh Allah SWT. kapanpun dicabur. Kita tidak pernah mengetahuinya. Oleh karena itu kepercayaan yang diberikan Allah SWT. bisa dipertahankan atau tidak sangat tergantung pada sikap kita kepada-Nya. Allah SWT. akan tetap mempercayakan itu kepada kita jika kita bisa dipercaya-Nya. Karena itu jika ini tidak mau dicabut oleh Allah SWT., pertanyaannya apa yang harus kita lakukan.

        Rasulullah SAW. mengajarkan supaya kita senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. supaya nikmat ini tetap bertahan dalam diri, bahkan akan semakin bertambah kalau sering disyukuri. Misalnya Anda diberi kopiah, dihadapan si pemberi kopiah itu dipakai untuk mengelap. Apakah kira-kira perasaan si pemberi? Pasti marah. Kalau sudah marah pasti akan diambil lagi. Karena masih banyak yang membutuhkan. Kalau kita tidak mensyukuri apayang kita dapatkan ini, masih banyak orang selain kita yang membutuhkan. Allah SWT. berfirman “Jika kalian tidak bisa menerima kepercayaan-Ku, Aku bisa datangkan orang lain untuk menggantikan kalian”. Kapanpun yang Allah SWT. kehendaki. Indonesia negeri makmur, negeri luar biasa dan kaya raya sumber daya alam, tetapu kalau ini tidak disyukuri pasti habis.

        Nanti Allah SWT. akan memberikannya kepada orang lain, karena itu tentu saja menggunakan semua yang kita miliki untuk bersyukur kepada Allah dan kepada mereka yang telah berjasa. “Man lam yasykur li an nas la yasykur ila Allah;” “Barang siapa yang tidak bisa mensyukuri sesama manusianya itu tandanya dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.” Kalau kita diberi uang oleh seseorang kemudian tidak bersyukur kepadanya dengan tidak mengucapkan terima kasih kepada dia, sama saja kita tidak bersyukur kepada Allah SWT. Apakah manifestasi rasa syukur itu? Yaitu menggunakan apa saja yang kita miliki ini sesuai dengan fungsinya.

        Syukur itu adalah membuat apa yang kita miliki ini bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita dianugerahi tangan oleh Allah SWT. dan sebagai tanda syukur kita menggunaka tangan ini untuk tujuan-tujuan yang baik, menulis untuk bekerja dan sebagainya. Karena itu maka kehadiran seorang Muslim di atas dunia ini manfaatnya buat orang banyak. Itulah perwujudan rasa syukur. Rasa syukur yang aeperti diajarkan oleh Allah SWT. kepada kita tadi, dengan menggunakan segala sesuatu dan sebagainya yang kita miliki, itu juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan, kesehatan dan juga kerja kita.

        Saya membuat ilustrasi tentang rasa syukur itu. ada dua bidang sawah. Letaknya berdampingan. Petak yang satu punya seorang Muslim dan yang satunya lagi milik seorang atheis.

        Orang atheis ini menggarap sawahnya dengan sains. Dicangkul dengan sebaik-baiknya, disiangi sebai-baiknya, kemudian dipilihkan benih sebaik-baiknya. Tetapi karena tidaaak percaya kepada Allah SWT. dia mengerjakannya tidak baca basmalah. Tidak pernah shalat karena dia atheis, dia juga tak pernah didukung dengan bertahajud supaya panennya berhasil. Tetapi dia mengerjakan dengan sebaik-baiknya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

        Satunya lagi milik orang Islam. Karena di Muslim dia percaya betul bahwa yang menentukan jadi tidaknya tanaman padi itu adalah Allah SWT. Yang Maha Kuasa. Lalu dia berfikir begini, “Walaupun saya tanam bennih yang unggul, kalau Allah SWT. tidak menghendaki ini tidak akan tumbuh. Saya beri air bagaimanapun baiknya, kalau Allah SWT. tidak berkenan menumbuhkan padi saya ini juga pasti tidak akan tumbuh. Dengan membaca basmalah saja, kalau Allah menghendaki walau yang bagaimanapun juga pasti akan tumbuh. Nah, kalau ada dua sikap yang begini, kira-kira mana yang akan panennyaa bagus?

        Cara berfikir manusia sekarang ini hampir-hampir dia tidak memasukan Tuhan. Pernah terjadi, sudah dieprhitungkan secara ilmiah menanam padi di sawah tiba-tiba datang belalang dan habislah padinya. Siapa yang mengundang belalang itu?

        Oleh karena itu, maka sikap untuk menegaskan yang pertama tadi jika sudah dilakukan hukum-hukum sains yang seperti tadi, maka selanjutnya basmalah-nya dipasang. Jangan seperti ini, membuka warung ingin kaya dengan rajin shalat tahajjud, tetapi bangun tidurnya jam 10 siang. Jadi, dia ingin berhasil lewat shalat tahajjud, padahal tahajjud itu gunanya bukan untuk itu. gunakan ilmu pengetahuan terlebih dahulu baru kemudian disertai dengan mendekatkan diri pada Allah SWT.

....

Kembali ke atas....

Indonesia Beriman