:: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ...." (Al-Baqarah(2) : 286) :: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah(2) : 177) :: "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah(2) : 268 :: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa(17) : 36) :: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah(99) : 7,8)
::

Penyembuhan spiritual




Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir

Imam Khoemeni, sebagai guru spiritual apapun fatwanya selalu diikuti baik itu dimengerti maupun tidak. Spiritual selalu diindikasikan pada arah-arah yang tidak memakai otak. Dan ini sebagai titik klimaks dari spiritualitas sendiri.

        Pada zaman orde baru ada istilah “seimbang, lahir batin, dunia akhirat, material-spiritual”, istilah seperti itu seakan menandai bahwa material adalah lawan spiritual. Begitu sebaliknya lawan material. Artinya, yang spiritual itu bersifat imaterial. Namun dalam pengertian saya tidak semuat yang bersifat imaterial otomatis berbau spiritual.

        Pada tahun 1995 terbitlah buku Daneal Golmen yang membahas Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional). Tujuan sederhana dari buku dimaksud, bahwa kalau mau sesuai dengan hidup ini harus mampu mengendalikan diri. Selama 10 tahun beliau meneliti seribu orang gnius di Inggris. Ternyata kebanyakan mereka gagal sekalipun genius karena kurang mampu mengendalikan diri. Maka dari itu, kalau mencari bos jangan yang terlalu genius, karena banyak pembicaraannya yang sulit dicerna. Bagaimana bisa mengerjakan sesuatu yang diperintahkannya, sedangkan apa yang dia bicarakan kadang-kadang susah diterka. Waktu dia bicara kecerdasannya sedang keluar, ketika dia menerangkan kecerdasannya sedang berhenti. Sebab kecerdasan seseorang itu tidak terus-menerus.

        Ada diantara murid Daneal Golmen yang sangat terkenal, Danah Zohar dan Ian Marshall, emnulis buku Spiritual Intelligence (Kecerdasan Spiritual). Keduanya menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat god spot, bagian otak manusia yang ingin ber-Tuhan dan hanya memikirkan Tuhan. Di sinilah termpatnya orang beragama. Maka orang yang sehat secara spiritual itu adalah orang yang beragama. Sekalipun tidak secara eksplisit disebutkan makna agama dalamm buku tersebut. Seolah-olah dia mengatakan, orang yang punya spiritual tingkat tinggi bisa jadi ia tidak beragama.

Makna Spiritual....

        Istilah spiritual bukan berasal dari kata spirit. Ia adalah lawan kata dari material. Dalam konteks psikologi, terutama dari aliran-aliran god spot, spiritual itu diartikan sebuah keyakinan dalam hidup bahwa dia ditentukan oleh kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya.

        Apakah orang gila yang menari-nari di jalanan sudah rusak spiritualnya? Tidak. Itu jiwanya yang rusak. Tapi orang yang spiritualnya rusak, mungkin saja jadi orang gila. Maka penyembuhan spiritual adalah penyembuhan yang tidak memakai benda, mungkin dengan doa, pujian bagi pemalas, diberi senyuman, ditambah dengan hadiah, dan sebagainya. Itulah yang dinamakan terapi spiritual, sebuah terapi yang mampu membangkitkan kejiwaan.

        Konon, orang yang lebih menghargai spiritual ketimbang material. Masyarakat kapitalis bukan masyarakat spiritualis. Bagi masyarakat spiritual nilai-nilai tertingginya bukan pada materi, sebagaimana yang dianut kaum kapitalis. Terapi untuk penyakit kapitalis tidak mungkin dengan capital, pasti dengan dengan non capital. Misalnya, orang kaya raya dan ingin lebih kaya raya lagi maka secara otomatis penyakitnya bertambah. Seperti koruptor-koruptor Indonesia, sudah menjadi orang enak, tapi dengan keserakahannya mengambil uang negara lagi, ya penyakitnya kian bertambah dan tidak sembuh-sembuh. Sehingga orang yang gila harta, obatnya itu bukan benda. Sebab kalau dengan benda penyakitnya bisa bertambah.

        Al-Qur’an menyebutkan, “Alladzi jama’a maalan wa’addadah,” bahwa orang yang sakit secara spiritual adalah mereka yang senang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung harta. Kalu hitungannya tidak naik-naik dia akan menderita. Inilah gambaran orang yang terjangkiti penyakit kapitalis. Rakus. Orang seperti ini tidak sadar kalau dirinya sedang sakit.

        Bagaimana supaya kita tidak terjangkiti penyakit materi? Dalam Al-Qur’an dan hadist banyak sekali keterangan yang mengatakan bahwa orang-orang yang senang kepada Allah berbanding terbalik. Artinya, semakin senang dia berjumpa dengan Tuhan, maka kian tidak senang kepada materi. Sebaliknya, semakin mengejar materi, maka semakin menjauh dari Allah. Dan jika tidak puas dengan apa yang Anda miliki maka Anda semakin jauh dari Allah. Kalau saja Anda pernah mengalami kehilangan motor dan mobil, namun Anda bersikap dingin bahwa itu milik Allah dan mengembalikan semua kepada Allah, maka dengan sikap seperti ini Anda sudah mendekat kepada Allah.

        Zakat dalam Islam sebenarnya merupakan pendidikan yang utuh. Ada kata : “Bersihkan hartamu dengan zakat”, sebetulnya bermakna : “Bersihkan jiwamu dengan zakat”. Sebab yang mengotori jiwa itu adalah harta. Kalau Anda membersihkan harta belum tentu jiwa kita bersih. Tapi kalau jiwanya bersih, maka hartanya juga akan bersih.

        Untuk sampai ke taraf seperti itu, kita harus memiliki keikhlasan total dalam berzakat. Kalau Anda sedang panen 20 karung lalu dikeluarkan 2 karung, dan Anda berkeyakinan panen tetap 20 karuung, itu baru menunjukan bahwa jiwa Anda bersih. Dan kalau mau hidup tenang maka datang dan perginya sesuatu harus dianggap sama. Kalau sudah berada pada posisi ini, maka Anda tidak akan pernah terjangkiti penyakit materialis.

Inti Penyembuhan....

        Walhasil, apa yang dikatakan persiapan spiritual menghadapi zaman modern? Yakni, persiapan untuk selalu melatih diri supaya tidak gila terhadap dunia (hub al dun-ya). Manusia diciptakan terdiri dari unsur lahut dan nasuth. Unsur lahut (Tuhan) ingin menarik ke atas, sedangkan unsur nasuth ingin menarik ke bawah, karena manusia diciptakan dari tanah. Apalagi dia dilahirkan di bawa (tanah), sehingga sangat susah sekali untuk naik ke atas. Tak ayal banyak teori menganjurkan agar jangan sampai kita dipengaruhi dunia. Artinya, kita mesti mempunyai prinsip dalam mewujudkan kebaikan bukan semata kepentingan dunia, melainkan harus ditujukan demi kemaslahtan akhirat kelak. Seperti ungkapan Al-Qur’an bahwa “kehidupan (kebajikan) akhirat itu lebih utama dari pada kehidupan duniawi (QS. Ad Dhuha:4)”.

        Inti dari penyembuhan spiritual ialah bagaimana kita menyiapkan diri untuk menghidupi alam nyata ini. Coba kita lihat setiap hari hampir terjadi pembunuhan dan penipuan. Bahkan yang tidak dimengerti adalah suami membunuh istrinya sendiri. Padahal di akhirat tidak ada pembunuhan seperti yang terjadi di dunia ini. Dan berdasarkan realitas yang ada, dunia ternyata memang kejam sekali. Dunia sangat membahayakan kalau kita tidak mengenal karakter-karakternya. Seperti ingin menjadi orang jelek (tidak baik), itu tidak sekaligus, dia pelan-pelan berteman dan berkawan lalu bisa melakukan kejahatan. Kadang-kadang dengan menjustifikasi itu sudah tidak baik. Misalnya, saya sebagai guru besar gaji kecil wajar kalau korupsi sedikit, menipu mahasiswa, kalau mau lulus cepat ya membayar sekian juta. Dan kalau dihitung-hitung belum setimpal dengan jasa-jasa saya. Inilah kadang-kadang alasan yang bersifat justifikasi yang pada prinsipnya bekerjasama dengan iblis.

        Ada kesiapan-kesiapan mental yang harus kita sadari untuk selamat dari godaan dunia. Kita tidak bisa lari dari dunia ini. Kalau ada perintah uzlah atau meninggalkan dunia, itu tidak tepat. Kita tidak bisa membiarkan orang-orang jahat semakin membabi buta melakukan kejahatan di atas dunia ini. Semesta pasti rusak. Kita harus tetap terjun ke dunia ini dengan persiapan spiritual yang kuat dan jernih. Dan ini ti spiritual yang kuat ialah kalau kita selalu merasa melihat atau dilihat Allah.

        Orang yang memiliki kematangan spiritual akan diberikan keistimewaan oleh Allah. Setidaknya pikiran yang bersangkutan akan selalu ca’ang (penulis: bahasa sunda). Dan ca’ang dalam Islam itu disebut makrifat, yakni tingkat kedekatan dengan Allah yang tertinggi. Istilah makrifat berasal dari kata arafah, yang bearti tahu (mengehtahui). Kalau memberikan tausiyah pada orang yang mau berangkat haji, saya (pen: Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir)selalu menegaskan bahwa : di Arafah-lah Anda akan menemukan puncak tertinggi. Kata arafah satu akar dengan makrifat. “Al Hajju Arafah; haji itu wukuf di Arafah”. Karena di tempat inilah kita akan menyadari betul siapa diri kita dan siapa diri Tuhan yang kita sembah.

        Sedangkan cara untuk mencapai tingkat makrifat sudah diajarkan oleh para sufi. Dalam Islam disebut dengan tasawuf, yang mengajarkan maqamat; tingkatan-tingkatan makrifat. Ciri utamanya, kalau bisa membaca pikiran orang, yang penting kita membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Dalam masyarakat kapitalis ini karena semakin canggih banyak sekali persoalan yang susah dibedakan. Jangankan yang halal, yang haram saja susah kita bedakan. Maka orang yang mendapat makrifat itu sudah mendapat petunjuk. Mana yang syubhat dia tahu, mana yang salah dan mana yang benar, mudah ia bedakan.

        Kesiapan mental yang lain adalah kejujuran. Orang jujur itu tidak sekaligus. Mula-mula jujur kepada orang lain, jujur kepada benda-bendanya, kahirnya jujur kepada diri sendiri. Itulah jujur yang sebenarnya. Kalau jujur kepada orang lain, rata-rata kita bisa. Sebab kalau tidak jujur, ada bayarannya dari orang lain. Jujur menempatkan harta pada tempatnya, rata-rata kita juga bisa. Namun jujur terhadap diri sendiri itu puncaknya.

        Kalau suatu perusahaan/instansi/organisasi/dll mau maju, harus dikelola oleh orang yang jujur dan senantiasa dimanage oleh kejujuran. Hanya orang jujur yang bisa memahami pentingnya menata etos kerja. Dan puncak etos kerja itu ibadah. Sebab di dalamnya ada unsur estakologis dan transedentalnya.

        Mengumpukan harta itu wajib dalam Islam. Menjadi kaya juga wajib. Meski ada yang beranggapan, terutama yang dipengaruhi tasawuf Al-Ghazali, bahwa kaya itu memperlambat menuju kehadirat Tuhan. Kalau dalam hidup ingin mendapat pencerahan spiritual, kata Al-Ghazali, Anda harus sanggup menghentikan kerja akal. Jadi kalau teori kaya pakai ilmu Barat atau ilmu China. Lalu warna kekayaannya itu pakai warna Islam. Artinya, kita harus memjadi kaya tapi selamat, bukan kaya tapi susah tidur atau banyak musuh dengan kekayaan itu sendiri.

....

Kembali ke atas....

Indonesia Beriman